Sang Idola

Pemuda itu menangis tersedu. Butir-butir air mata membanjiri wajahnya yang terlihat kuyu. Langkahnya gontai tak bersemangat.
“Aku serasa lumpuh kehilangan panutan,” bisiknya lirih. Perjalanan jauh ditempuhnya dari rumah hanya untuk menjumpai seseorang yang selama ini dipanggilnya Bapak. Pemimpin, guru, tokoh idolanya itu telah memberi banyak inspirasi dalam kehidupannya selama ini. Kepergiannya untuk menggenapi kekaguman pada panutan hidupnya itu.
Tapi apa yang disaksikannya? Beberapa hari mondok dan berguru, ternyata Bapak tidak seperti yang diharapkan. Kehidupannya sama saja seperti semua manusia lain. Bahkan sebenarnya tak lebih dari manusia biasa yang penuh alpa. Semakin hari, semakin terlihat segala perbuatan yang tidak sesuai ajaran-ajarannya selama ini. Yang membuatnya semakin kecewa, Bapak telah menyelingkuhi Ibu, istri yang sekian lama mendampingi dalam susah dan senang.
Seorang tua dan bijaksana yang ditemui dalam keputusasaannya, mengajaknya memetik hikmah: “Itulah jadinya jika kita mengidolakan “siapa” dan bukan “apa”-nya. Selama dia masih berwujud manusia, hendaknya kita bisa membedakan. Karena semakin kau merasa mengenalnya, maka dia akan semakin jauh dari citra yang sesungguhnya kau buat sendiri dalam pikiran-pikiranmu.”
Mungkin kita juga pernah mempunyai perasaan serupa. Kekaguman kita pada pemimpin, guru, senior, sahabat –bahkan orang tua kita sendiri- yang semula terlihat begitu sempurna, pupus seketika karena sesuatu hal. Namun yang sebenarnya terjadi sebenarnya adalah : cinta kita yang buta tidak memberi ruang sedikitpun kepada sisi kemanusiaan mereka –yang mungkin tidak pernah lebih sempurna dari siapa pun.
“Sebentar, anak muda!” Orang tua bijaksana mencekal bahu pemuda itu sebelum melangkah pergi. “Hendaknya peristiwa ini menjadikanmu semakin dewasa. Dan hendaknya, segala hal baik yang terlihat pada dirimu, sesungguhnya mencitrakan adanya dirumu.”
Pemuda tegar itu mengangguk mantap. (Tj)


Sumber : Lentera, Intisari, edisi Maret 2008.